SYABIHA DI MALAM BUTA |
Selimut udah saya tarik tutupi muka, mata kriyep-kriyep hampir merem, nyaris sweet dream-lah pokoknya. Abu Anjad, mujahidin belia yang pengalaman berperangnya ga sebelia umurya itu masih mainin laptop saya. 3 anggota tim bantuan kemanusiaan Suriah lainnya pun setengah jam lalu bye-bye ke alam mimpi. Suasana di markas sendiri cukup sepi, cuma Abu anjad, Abu Qo’id sang jendral bintang dua dengan bekas luka mulai leher, perut, sampai paha, Mu’anna pejuang 17 tahun yang dalam pemulihan bekas luka tembak di tulang belakang, dan Abul Basith, syaikh muda Hafidzul Qur’an ini girang betul ketemu Ikrimah, kali punya anak gadis mungkin Ikrimah sudah beliau ambil mantu karena katanya sudah lama tidak jumpa qaari’ sefasih Ikrimah di Suriah.
Tambah lagi dua bocah belum genap usai 14 tahun, Majid dan Mazin yang demen bener nongkrongin markas Mujahidin bahkan sampai nginep segala!
Belum sempat lebih dalam terhipnotis cuaca 0 derajat tengah malam di Suriah, dari luar markas sebuah suara menyentak
Dor ..!!! Dor .. !!! Dor …!!!
Tretetetetet …!!
Abu Anjad loncat dari ranjang, kakinya tak sengaja menendang paha saya yang juga kaget dengar bunyi baku tembak barusan. Dia lari ke kamar senjata, Ikrimah pun bangun.
“ Kak! Ada tembakan! ”
Saya sambar jaket berisi pasport dan uang darurat kemudian mengejar Abu Anjad. Di dalam kamar senjata, Abu Qo’id, Abul Basith, dan lain-lain termasuk dua bocah pemberani mengokang senjata!
“ Abu Quraisy, kau bisa kan nembak? ini senjata banyak, bawa ke atap markas, kita semua mau keluar lihat situasi. Kau tutup pintu besi depan dan lari keatas. Kalau nanti bukan kami yang datang, Tembak! Fahimta?!”
Abu Qo’id kasih intsruksi yang segera saya laksanakan.
Perang?!
Kebetulan Ikrimah sudah di belakang saya, maka begitu para mujahidin meninggalkan markas, gerbang depan saya kunci, Ahmad Kindi serta pak Umar saya bangunkan, senjata serta semua orang yang tersisa saya suruh naik ke atap markas!
Angin kencang super dingin menambah tegang situasi, Mu’anna ambil posisi dengan 'mini gun' mengawasi gerbang depan. Ikrimah saya tempatkan di sudut kanan, di belakangnya Ahmad Kindi memback up. Pak Umar yang datang dengan kalem, saya minta melindungi sayap kanan markas, sejajar dengan saya yang berjongkok mengawasi ruang terbuka di belakang markas.
Dua puluh menit penuh ketegangan, datang bantuan dua mujahidin membawa senjata-senjata berat langsung bersiaga di bawah, mengamankan gerbang kanan serta depan.
Komandan Mujahidin mengirim mereka mundur dari garis depan untuk memperkuat markas yang hanya dijaga 4 relawan kemanusiaan, 2 bocah, dan 1 orang cacat!
15 menit kemudian dari arah rumah sakit lapangan, 3 ambulance lengkap lampu warna warni serta nguing-nguingya beriringan menuju garis depan. Komando dari pimpinan grup pejuang silih berganti diberikan kepada kami via hp.
Rupanya ada infiltrasi satu grup besar musuh ke posisi kami!
Allahu Akbar!
Saya datangi tim, cek satu persatu kelengkapan pasport dan uang darurat mereka, juga saya tunjukkan arah markas mujahidin lainnya yang paling dekat, saya bilang pokoknya komando di tangan saya dan sebisa mungkin jangan terlibat baku tembak, segera ada kesempatan larilah cari perlindungan di markas mujahidin lainnya, tapi kalau memang harus mati disini ya sudah! yang penting jangan menyerahkan diri karena toh cuma akan mati perlahan dalam tahanan musuh, sebisa mungkin tukar nyawa sebanyak-banyaknya!
Berselang 30 menit datang lagi sekelompok mujahidin, tapi rupanya bukan untuk mengamankan markas, hanya mengambil amunisi lalu kembali pergi!
Saya tanya mereka kejadian apa persisnya? mereka cuma jawab singkat :
" Syabbiihah! "
Sempat bingung sejenak, saya buka hp, pandangi foto Quraisy serta ibunya, kemudian tutup lagi dan menguatkan hati.
Bimillah tawakkal ‘alallah! kokang senjata, lupakan semua!
Detik-detik menunggu datang serangan musuh terasa begitu lama, suhu 0 derajat terlupa, tak ada apapun yang melintas baik di hati maupun pikiran.. ngga anak, ngga istri, ngga orangtua, ngga juga masa depan. Yang ada hanya desir darah memompa adrenalin ke kepala dan membuat mata saya jadi awas, mengawasi kegelapan di bawah, mencari sekecil apapun kelebat bayangan dalam kegelapan yang barangkali itu musuh!
Semua terdiam, desiran angin jadi macam speaker rusak, bergemuruh, keras bukan main. Rentetan tembakan mendekat, bahkan mulai terdengar suara-suara teriakan sesekali. Saya menggigil hebat, bukan karena dingin tapi karena terlalu tegang! Semua pergerakan di atap mendadak berhenti, Ahmad Kindi yang tadinya saya suruh berputar-putar membentuk lingkaran kecil untuk mengusir dingin, kini terpaku menatap kejauhan, ke arah mungkinnya musuh menjelang!
Entah berapa lama situasi mencekam, sampai suatu ketika gemuruh angin dikalahkan sebuah dering dari hp Mu’anna, kabar dari komandan mujahidin... Lepaskan tembakan kah ? larikah ?
" Ithla’that, Amn InsyaAllah, A’lassalaamah! "
Musuh yang menyamar sebagai warga sipil berhasil menembus check point pertama, tapi laju mereka, Alhamdulillah dipatahkan hanya 1,5 km dari markas kami! seorang penjaga check point pertama yang selamat sempat mengirim SOS ke mabes yang segera menurunkan regu khusus perang malam! beberapa musuh ditembak, puluhan ditawan, sisanya melarikan diri, dan ghanimah membludak! dari Mujahidin hanya sedikit luka ringan.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Fathi Attamimy - Halab, Suriah