Kunjungan ke Rumah yang telah Hancur | Revolusi Suriah
Home » , , , » Kunjungan ke Rumah yang telah Hancur

Kunjungan ke Rumah yang telah Hancur

PERJUANGAN MELAWAN KELAPARAN: KUNJUNGAN KE RUMAH KAMI YANG TELAH HANCUR |
Tak ada yang bisa menandingi indah dan hangatnya kenangan bersama orang-orang rumah, dengan saudara-saudarimu, di mana engkau tumbuh dewasa bersama mereka, ketika engkau berada dalam naungan cinta orang tua. Begitu juga ketika saat ini aku merasa lemas karena lapar dan menggigil karena kedinginan. Aku merasa begitu merindukan arti sebuah kunjungan keluarga. Hari ini aku berjalan ke pinggiran kota, bermaksud untuk mengunjungi rumah kami dahulu. Rumah sederhana kami yang berada di lantai tiga sebuah apartemen.

Aku sadar apa yang akan aku temukan di sana, dan rasanya masih menyakitkan.

Rumah kami letaknya berdekatan dengan pegunungan di mana satuan tentara Assad bermarkas. Bagian kota ini termasuk jarang ditembaki dengan bom karena letaknya yang terlalu dekat dengan garis depan pertempuran, dan rezim seringkali secara tidak sengaja melukai tentara mereka sendiri ketika mencoba membombardir daerah ini. Rezim hanya menargetkan garis depan untuk menginvasi kota dengan menggunakan tank, sehingga mereka dapat mengenai target lebih tepat, dan menyimpan metode tembak mereka secara acak untuk wilayah yang padat penduduk.

Rumah kami telah hancur selama invasi rezim, sekitar delapan bulan yang lalu.

Sepertiga dari bangunan rumah kami kini hanya berupa reruntuhan bangunan. Sebagian besar furnitur telah terkubur di bawah puing-puing reruntuhan. Televisi kami hancur. Teringat dahulu aku sering berkumpul menghabiskan waktu bersama keluargaku disini, duduk-duduk di dekat televisi. Terkadang kami berkumpul menonton televisi ditemani semangkuk popcorn dengan taburan biji semangka panggang. Kadangkala aku mengundang teman-teman untuk datang dan terkadang ibuku turut duduk menemani kami menonton TV bersama. Sedangkan Ayahku, beliau telah lama meninggal dunia. Ibukulah yang selama ini merawat kami, dan menemani kami.

Ruang keluarga.

Aku menemukan sweater yang begitu kukenal, sweater milik saudara laki-lakiku, sweater Armani tiruan. Walau bukan sweater asli, sweater ini tetap kelihatan bagus. Kami membelinya dalam sebuah perjalanan ke Aleppo. Lebih dari sekali, aku akan menunggu kakakku pergi ke sekolah, lalu diam-diam aku meminjam sweaternya tanpa sepengetahuannya.
Ah, begitu menyakitkannya aku harus melihat sweater kenangan ini dalam keadaan robek dan tercabik-cabik, sebagaimana keluargaku.

Sebenarnya kami ini adalah satu keluarga besar, namun menjalani kehidupannya masing-masing di kota, dan negara yang berbeda-beda. Bagi orang Palestina hal ini adalah lumrah, begitupula dengan orang Suriah saat ini. Terlalu berbahaya bagi kami untuk saling tinggal dekat antara satu dengan lainnya, termasuk diriku dengan saudaraku, jadi aku menghindar dari terlalu banyak berhubungan dengan mereka. Begitu juga ibuku, Ia merasa harus mengecek aku setiap hari, namun sengaja aku tak mengijinkannya mendengar suara putranya ini. Lebih baik untukku untuk menuliskan pesan saja kepadanya. Sungguh, jika aku berbicara padanya, ia pasti mendeteksi kesedihanku dan aku tak mampu untuk membuatnya semakin menderita.

Suatu hari, ibuku memaksa untuk mendengar suaraku yang mau tak mau terpaksa akhirnya aku berbicara padanya melalui telephone, namun tiba-tiba saja aku merasa tak lagi menjadi seorang laki-laki dewasa atau seorang revolusioner pemberani, justru aku tampak seperti seorang bocah laki-laki yang tak lain hanya membutuhkan belaian ibunya, dan aku selalu tak sanggup untuk tidak menangis dihadapannya.

Aku adalah satu realita dari ribuan orang Suriah yang terpisah dari keluarganya, dari rumahnya, dari teman-temannya, dan hanya bertahan hidup di pengungsian atau perkampungan kumuh, atau seorang yang hidup dibawah pengepungan. Aku berjalan dan menemukan kulkasku yang kini telah kosong tampak tergeletak di atas lantai. Meja makan di mana keluarga kami berkumpul setiap hari kini berada di bawah puing-puing reruntuhan bangunan.

Tak ada yang mampu menandingi lezatnya masakan seorang ibu. Namun aku ini termasuk putranya yang pilih-pilih. Seringkali aku memberitahu ibuku bahwa masakan buatannya tidak enak, terlebih ketika ibuku memasak Okra dengan saus tomat, sejenis masakan yang begitu populer di Suriah. Maka pada hari-hari Ibuku memasak Okra, aku memilih pergi ke luar rumah mencari makan membeli sandwich. Dan ibuku, sungguh ia tak pernah begitu marah dengah sikapku yang menjengkelkan ini.

Bagiku, Suriah yang merdeka adalah Suriah yang bebas dan bermartabat bagi rakyatnya, mendapatkan keluargaku kembali di bawah satu atap, atap kami, di sebuah kota yang kami cintai, Moadamiya.

Saudaramu,
Qusai Zakarya - Moadamiya, Suriah
----------------------------------------------------------------

Salurkan Donasi medis dan kemanusiaan Anda ke Suriah melalui :
- Moneygram & Western Union : Ikrimah d.a Suronatan NG II/864 RT 051/008 Yogyakarta
- MANDIRI : 900 0019 330 720 a.n Ikrimah (KCP Katamso Yogyakarta)
- BRI : 0029 0110 999 7500 a.n Ikrimah (KCU Cik Ditiro Yogyakarta)
- BCA : 1691 967 749 a.n Ikrimah (KCU Ahmad Dahlan Yogyakarta)
- BNI : 0317 563 523 a.n Ikrimah (KCP Parangtritis Yogyakarta)
Konfirmasi SMS: 0857 0264 6881 - Blackberry 328B6030

UNTUK AMAL dan DAKWAH, SEBARKAN TULISAN INI..!!

0 Komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Artikel Terkini

Popular Post

 

Support : Peta Blog | Donasi | Tentang
Copyright © 2013. Revolusi Suriah
All Rights Reserved

Template Created by Creating Website
Edited by Hanzhalah wa-Qaashiraat
Proudly powered by Blogger


Flag Counter